Developing Speech Level in Bali

From BASAbaliWiki
Revision as of 05:00, 3 November 2022 by Ryan Ferdinand (talk | contribs) (Created page with "{{PageSponsor}} {{Literature |Page Title id=Mengembangkan Tutur Bahasa di Bali |Page Title en=Developing Speech Level in Bali |Description text=Hello, Introduce myself is Ryan...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Title (Other local language)
Photograph by
Author(s)
    Reference for photograph
    Subject(s)
      Reference
      Related Places
      Event
      Related scholarly work
      Reference


      Add your comment
      BASAbaliWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

      Description


      In English

      Hello, Introduce myself is Ryan. I'm studying at Denpasar IGBS State Hindu University my opini of this statement. There are a number of different classifications

      Balinese speech level (Suastra, 1998). However, the difference in that way never a problem because of that only related to detail issues, let alone the basis of the classification benchmark it is the same, namely the sense of language. In this study, various speech levels Balinese language is classified into three, namely the coarse (code) variety, (code) ordinary, and variety (code) alus. Traditionally rough code should be used when angry, at a very familiar, or in animals; regular code should be used between speakers jaba or by triangsa speakers to jaba speakers; whereas, code alus is used by jaba speakers for converse with the speaker quarter or between speakers quarter. The use of Balinese by Singaraja City speech community often received negative feedback from non-Singaraja speech community. Laksana (2009) exemplifies that a speaker from Gianyar who studied in Singaraja City in often surprised by being reprimanded with using rough code by friends- friend from Singaraja. Like further reveals that young speakers of Singaraja City indeed often use harsh words in speaking. Wingarta (2009) also supports the observations Do it by showing that the use of language in the City Singaraja tends to be seen as rude by other Balinese people. As a result, stereotypes emerge that the people of Singaraja City say rough-NDVDU¥ Regardless of whether it's true or not, stereotypes and usage Balinese speech level in society said the City of Singaraja is interesting to studied. One of the questions that can be studied is how society perceives and feel the Balinese language. With Thus, research on attitudes language is important for conducted. Attitude can be defined as someone's evaluation of something or someone who can cause likes and dislikes like something or someone it (Baron and Byrne, 2002: 120). Thus, the attitude of language is an attitude whose object is language. language attitude structure, as well as attitudes whose objects others, following a triadic scheme consisting of of three interrelated components. namely the cognitive component, the component affective and conative components (Garrett, 2010:23; and Azwar, 1995: 23-24). Cognitive or knowledge component covers all kinds of knowledge someone about the attitude object. Trust includes trust or knowledge of true or wrong, good or bad, and desirable or unwanted. Once upon a time trust is formed, then it will

      become the basis for knowledge

      In Balinese

      In Indonesian

      Halo, Perkenalkan diri saya adalah Ryan. Saya belajar di Universitas Hindu Negeri IGBS Denpasar pendapat saya tentang pernyataan ini. Ada sejumlah ragam klasifikasi

      tingkat tutur bahasa Bali (Suastra, 1998). Akan tetapi, perbedaan cara itu tidak pernah menjadi masalah karena itu hanya terkait dengan masalah detail, apalagi dasar dari tolak ukur klasifikasi itu adalah sama, yakni rasa bahasa. Pada penelitian ini ragam tingkat tutur bahasa Bali diklasifikasikan menjadi tiga, yakni ragam (kode) kasar, ragam (kode) biasa, dan ragam (kode) alus. Secara tradisional kode kasar seharusnya digunakan pada saat marah, pada percakapan yang sangat akrab, atau pada binatang; kode biasa seharusnya digunakan di antara penutur jaba atau oleh penutur triwangsa kepada penutur jaba; sedangkan, kode alus digunakan oleh penutur jaba untuk bercakap-cakap dengan petutur triwangsa atau di antara penutur triwangsa. Penggunaan bahasa Bali oleh masyarakat tutur Kota Singaraja sering mendapat tanggapan negatif dari masyarakat tutur nonKota Singaraja. Laksana (2009) mencontohkan bahwa seorang penutur dari Gianyar yang bersekolah di Kota Singaraja pada sering kaget karena ditegur dengan menggunakan kode kasar oleh teman- temannya dari Singaraja. Laksana selanjutnya mengungkapkan bahwa penutur muda Kota Singaraja memang sering menggunakan kata-kata kasar dalam bertutur sapa. Wingarta (2009) juga mendukung hasil pengamatan Laksana tersebut dengan memaparkan bahwa penggunaan bahasa di Kota Singaraja cenderung untuk dilihat kasar oleh masyarakat Bali yang lainnya. Sebagai akibatnya, muncul stereotip bahwa masyarakat tutur Kota Singaraja ³kasar-NDVDU¥� Terlepas dari apakah itu benar atau tidak, stereotip dan penggunaan tingkat tutur bahasa Bali di masyarakat tutur Kota Singaraja menarik untuk dikaji. Salah satu pertanyaan yang dapat dikaji adalah bagaimanakah masyarakat itu mempersepsi dan merasakan bahasa Bali. Dengan demikian, penelitian tentang sikap bahasa menjadi penting untuk dilakukan. Sikap dapat diartikan sebagai evaluasi seseorang terhadap sesuatu atau seseorang yang dapat menimbulkan perasaan suka dan tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang itu (Baron dan Byrne, 2002: 120). Dengan demikian, sikap bahasa merupakan suatu sikap yang objeknya adalah bahasa. Struktur sikap bahasa, seperti juga sikap-sikap yang objeknya lain, mengikuti skema triadik yang terdiri atas tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif (Garret, 2010: 23; dan Azwar, 1995: 23-24). Komponen kognitif atau pengetahuan meliputi semua jenis pengetahuan seseorang tentang objek sikap. Kepercayaan itu meliputi kepercayaan atau pengetahuan mengenai benar atau salah, baik atau buruk, dan diinginkan atau tidak diinginkan. Sekali suatu kepercayaan terbentuk, maka itu akan

      menjadi dasar bagi pengetahuan