Property:Biography text id
From BASAbaliWiki
I
Berikut ini adalah cuplikan film dokumenter yang berkisah tatkala Lawrence dan Lorne Blair mengunjungi sang maestro berusia 116 tahun, I Gusti Nyoman Lempad, di Ubud . Keduanya beruntung bisa mengabadikan Lempad jelang wafatnya. Banyak orang mengatakan bahwa sang maestro itu wafat pada hari yang dipilihnya sendiri.
Gusti Nyoman Lempad adalah seorang pematung dan arsitek dimana karya - karyanya banyak kita temui di Puri dan Pura di Ubud saat ini. Di Denpasar, Patung Catur Muka di perempatan lapangan Puputan adalah salah satu karyanya yang masih bisa kita lihat.
Di dalam naungan pengaruh keluarga Puri, Lempad mengasah bakat seninya dalam arsitektur tradisi Bali, termasuk dalam seni pahat dan ukir. Tak hanya soal seni, Lempad juga memiliki pemahaman tentang ritual dan spiritual ketika mendirikan tempat suci.
Selain pematung (Undagi), ia juga terkenal dengan karya - karya lukisanya yang lebih banyak bercerita tentang mitologi Hindu Bali. Pada akhir 1920-an, Lempad mulai berkarya menggunakan media kertas. Dia masih menggunakan cara melukis tradisional, menggunakan kuas dan tinta hitam. Rudolf Bonnet dan Walter Spies mendukungnya dengan memberikan kertas seni kepada Lempad.
Bersama Bonnet dan Spies, dia turut mendirikan Pita Maha, sebuah kelompok seniman yang mendefinisikan ulang seni lukis Bali pada 1930-an. Kelak kelompok seniman tersebut menggelar pameran lukisan pertama mereka di Bali dan luar negeri, yang menjadi salah satu pemicu mengapa Bali mempunyai daya tarik untuk dikunjungi.
Tidak ada yang mengetahui kapan pastinya ia dilahirkan. Yang ia ingat, ia menikah saat Gunung Karakatu meletus pada tahun 1883. Ia meninggal pada 25 April 1978 (Selasa ke 4 pada bulan ke 4) di rumahnya di Ubud . Sebelum ia meninggal, ia mengumpulkan semua keluarga dan meminta mereka untuk memandikannya. +
I Gusti Putu Bawa Samar lahir di Tabanan, Tegal Belodan 27 Séptembér 1949. Ayahnya bernama I Gusti Gedé Pegug dan ibunya Gusti Ayu Nyoman Rerep. Ayahnya hanya seorang penari dan pada zaman belanda menjadi tentara Gajah Merah NICA. Samar Gantang bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) tahun 1955 di Pengabetan, Dauh Pala, Tabanan, dan lulus tahun 1963. Melanjutkan ke SMP 1 Tabanan, dan mulai saat itu ia gemar membaca buku sastra. Mulai menulis sastra Bali modérn dan Indonésia pada 1968 saat masih sekolah di SMA Tabanan (sekarang SMAN 1 Tabanan). Tahun 1973 ia menjadi guru honorér di SMP Harapan, dan ia juga menjadi guru di SMP TP 45 (sudah tidak ada), SMPN 3, SMP Pemuda, SMP Dharma Bhakti, dan SMPN 2 Tabanan. Tahun 1974, ia menjadi guru tetap di SMP Negeri 2 Tabanan dan mengajar mata pelajaran seni lukis.
Karya- karyanya dimuat di koran Bali Post, Nusa Tenggara, DenPost, Warta Minggu, Santan, Simponi, Swadesi, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Karya Bhakti, Suara Nusa, Fajar, Zaman, Top, Aktuil, Sarwa Bharata Eka, Varianada, Canangsari, Buratwangi, Merdeka Minggu, Baliaga, Taksu, dan Majalah Éksprési.
Selama 10 tahun mengisi siaran membaca puisi di RRI Studio Dénpasar, Menara Studio Broadcasting, Cassanova, Kini Jani Tabanan. Melalui jalan dari Tabanan ke Dénpasar dengan selalu menaiki sepeda ontél. Selain itu juga mendapat undangan dari LIA Surabaya atau PPIA, Museum Bali, IKIP Saraswati, Balai Budaya Dénpasar, STSI Surakarta, STSI Dénpasar, ISI Yogyakarta, Taman Izmail Marzuki, Gallery Nasional Jakarta, dan Yayasan Hari Puisi. Dia juga mendapat undangan membaca puisi di Malaysia dan Singapura tahun 1986. Di Tabanan ia mendirikan Sanggar Pelangi tahun 1976 dan sekarang berubah nama menjadi Sanggar Sastra Remaja Indonésia (SSRI) Bali, yang menyebarluaskan sastra Bali modern dan Indonésia kepada siswa SD, SMP, SMA/SMK dan para remaja muda yang menggemari sastra.
Mendapatkan juara I menulis puisi se-Bali tahun 1979, juara perlombaan menulis puisi nasional di Yogyakarta tahun 1982, delapan besar pagelaran sastra di Taman Ismail Marzuki tahun 1989, juara I menulis puisi pariwisata yang diadakan Yayasan Komindo Jakarta tahun 1991. Di bidang sastra Bali mendapatkan tanda kehormatan Satya Lencana Karya Satya, juara I menulis puisi; ésai; tembang macepat; se-Bali tahun 2000 dan 2001. Ia memperoleh penghargaan “CAKEPAN” tahun 2001 dari Majalah Sarad dan mengeluarkan buku kumpulan puisi yang berjudul “Aab Jagat”, serta penghargaan Sastra Rancagé 2003.
Buku yang sudah dikeluarkan berisi karyanya adalah Hujan Tengah Malam (1974), Kisah Sebuah Kota Pelangi (1976), Kabut Abadi (1979) bersama Diah Hadaning, Antologi Puisi Pendapa Taman Siswa Sebuah Episode (1982), Antologi Puisi Asean (1983), Antologi Puisi LIA (1979), Kalender Puisi (1981), Antologi Festival Puisi XI PPIA (1990), Spektrum (1988), Taksu (1991), Antologi Potret Pariwisata dalam Puisi (1991), Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara I (1994), Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara II (1995), Antologi Puisi Kidung Kawijayan (1995), Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara III (1996), Antologi Puisi Pos Nusantara Lokantara (1999), Aab Jagat (2001), Perani Kanti (2002), Onyah (2002), Somya (2002), Sagung Wah (2002), Macan Radén (2002), Berkah Gusti (2002), Sang Bayu Telah Mengiringi Kepergiannya (2002), Puisi Modré Samar Gantang (2002), Antologi Puisi HP3N Nuansa Tatwarna Batin (2002), Bali Sané Bali (Pupulan Durmanggala, 2004), Awengi ring Hotél Séntral (2004), Pakrabatan Puisi Tegal DIHA Tebawutu (2004), Kesaksian Tiga Kutub (puisi lan cerpén, 2004), Léak Raré (2004), Léak di Bukit Pecatu (2005), Léak Satak Dukuh (2006), Ketika Tuhan Menyapaku (2006), Dipuncakmu Aku Bertemu (2008), dan Jangkrik Maénci (2009).
Dia terkenal dengan puisi modré, membuat para penonton sungguh ingin melihat. Karyanya kebanyakan menggunakan tema-tema mistik seperti “léak”, dan itu bisa dilihat di buku- bukunya yang berbahasa Bali seperti di buku Léak Kota Pala, Puisi Modré Samar Gantang, Léak Bukit Pecatu, Jangkrik Maénci, dan yang lainnya.
I Gusti Putu Gede Wedhasmara, lahir di Denpasar, 10 September 1932. Dia adalah pengarang lagu asal Bali. Lagu-lagunya populer pada era 1960-an dan 1970-an dan hingga kini masih banyak dinikmati oleh penggemarnya. Majalah “Rolling Stone Indonesia” pada edisi Februari 2014 memasukkan Wedhasmara dalam “100 Pencipta Lagu Indonesia Terbaik”.
Wedhasmara sejak kecil menyukai dunia tarik suara. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP di Denpasar Bali, Wedhasmara melanjutkan pendidikan di SMA Santo Thomas di Kota Yogyakarta. Pada 1956-1963, Wedhasmara bekerja di Jawatan Pertanian Jakarta.
Wedhaswara tercatat pernah bergabung dalam berbagai kelompok musik seperti Orkes Gabungan Denpasar, Orkes Keroncong Denpasar, Kuartet Mulyana Sutedja Yogyakarta, Orkes Keroncong pimpinan Sukmini Yogyakarta, Orkes Melayu Ria Bluntas, Zaenal Combo, dan Empat Nada.
Lagu-lagu ciptaan Wedhasmara yang dikenal luas antara lain “Senja di Batas Kota” dan “Kau Selalu di Hatiku” yang dipopulerkan penyanyi Ernie Djohan, “Berpisah di St. Carolus” yang dipopulerkan penyanyi Lilis Surjani. Lagu-lagu tersebut adalah lagu abadi yang selalu dikenang, dan sampai hari ini masih sering diputar di radio-radio dalam versi aslinya.
Tahun 2011, Wedhasamara mendapatkan penghargaan Seni dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Sebelumnya, Wedhasamara juga mendapatkan penghargaan dari Walikota Denpasar (2003), Gubernur Bali (2003). dan Menteri Kesehatan RI (1982). Wedhasmara meninggal di Denpasar pada tanggal 17 April 2017. +
Dosen di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer STIKOM Bali +
Biografi
Nama : I Gusti Putu Windya. Alm. Beliau meninggal pada tahun 2010.
Istri : Gusti Ayu Nyoman Tanggal
Beliau memiliki 6 anak salah satu anak beliau sudah meninggal dan informasi ini saya dapat dari anak beliau yang ke-4 bernama Gusti Ayu Agustini. Beliau beralamat di banjar pasar desa Yehembang, kecamatan Mendoyo, kabupaten Jembrana.
Prestasi :
Beliau meraih banyak penghargaan diantaranya yang paling tinggi ialah penghargaan Kusuma Madya (tahun 1990), dengan karyanya yang paling terkenal ialah Geguritan Cangak. Selain itu beliau juga mengarang beberapa geguritan diantaranya Geguritan KB yang membawa beliau menjadi juara 2 lomba geguritan tingkat provinsi. Selain itu beliau juga banyak memiliki karya yang lainnya namun karya-karya beliau banyak yang mengklaim karena belum memiliki hak cipta.
Pekerjaan :
Selain mengarang geguritan beliau juga aktif melukis dan mengukir, serta beliau juga mendirikan sanggar lukis dan ukir, dan beliau ini belajar nyastra itu secara otodidak. Beliau juga dahulu pernah ditawari kontrak kerja di jerman untuk mengajar melukis tetapi ditolak. Dan beliau pernah menjadi anggota tim penilai pemberian penghargaan seni Dharma Kusuma provinsi daerah tingkat I Bali pada tahun anggaran 1994/1995.
Catatan khusus :
Informasi ini saya dapat dari narasumber yaitu Gusti Ayu Agustini yang mana merupakan anak ke 4 beliau yang juga pewaris alm. Gusti putu windya. Beliau mengatakan bahwa alm. Bapak gusti putu windya memiliki buku biografi akan tetapi saat ini tidak ada di tempat karena dibawa ke jerman dan belum dikembalikan dan beberapa dokumen2 terkait karya2 beliau yang juga dulu dipinjam dan belum dikembalikan hingga saat ini. Selain itu pada tahun 2015 juga geguritan cangak disadur oleh malaysia dengan membuat tokoh kartun 'bangau dan kepiting' dalam animasi pada zaman dahulu tanpa izin dari pewaris alm. Gusti putu windya. +
Biografi
Nama : I Gusti Putu Windya. Alm. Beliau meninggal pada tahun 2010.
Istri : Gusti Ayu Nyoman Tanggal
Beliau memiliki 6 anak salah satu anak beliau sudah meninggal dan informasi ini saya dapat dari anak beliau yang ke-4 bernama Gusti Ayu Agustini. Beliau beralamat di banjar pasar desa Yehembang, kecamatan Mendoyo, kabupaten Jembrana.
Prestasi :
Beliau meraih banyak penghargaan diantaranya yang paling tinggi ialah penghargaan Kusuma Madya (tahun 1990), dengan karyanya yang paling terkenal ialah Geguritan Cangak. Selain itu beliau juga mengarang beberapa geguritan diantaranya Geguritan KB yang membawa beliau menjadi juara 2 lomba geguritan tingkat provinsi. Selain itu beliau juga banyak memiliki karya yang lainnya namun karya-karya beliau banyak yang mengklaim karena belum memiliki hak cipta.
Pekerjaan :
Selain mengarang geguritan beliau juga aktif melukis dan mengukir, serta beliau juga mendirikan sanggar lukis dan ukir, dan beliau ini belajar nyastra itu secara otodidak. Beliau juga dahulu pernah ditawari kontrak kerja di jerman untuk mengajar melukis tetapi ditolak. Dan beliau pernah menjadi anggota tim penilai pemberian penghargaan seni Dharma Kusuma provinsi daerah tingkat I Bali pada tahun anggaran 1994/1995.
Catatan khusus :
Informasi ini saya dapat dari narasumber yaitu Gusti Ayu Agustini yang mana merupakan anak ke 4 beliau yang juga pewaris alm. Gusti putu windya. Beliau mengatakan bahwa alm. Bapak gusti putu windya memiliki buku biografi akan tetapi saat ini tidak ada di tempat karena dibawa ke jerman dan belum dikembalikan dan beberapa dokumen2 terkait karya2 beliau yang juga dulu dipinjam dan belum dikembalikan hingga saat ini. Selain itu pada tahun 2015 juga geguritan cangak disadur oleh malaysia dengan membuat tokoh kartun 'bangau dan kepiting' dalam animasi pada zaman dahulu tanpa izin dari pewaris alm. Gusti putu windya. +
Dar http://sejarahtaribali.blogspot.com/2011/05/i-ketut-mario.html
I Ketut Mario dalam Denpasar Culture adalah sosok penari dan juga salah satu pencipta tarian Bali dan dia mulai belajar menari sejak tahun 1906. Saat belajar menari, usianya kira-kira sebaya dengan anak mulai masuk SD. Dengan demikian Mario diperkirakan lahir 1897. Ia bersaudara lima orang. Orangtuanya hidup dari bercocok tanam. Ketika hasil pertanian kurang baik dan ditambah lagi entah bagaimana kondisi Denpasar kala itu, orangtuanya pindah ke Tabanan. Kurang jelas pula kapan meninggalnya sang ayah, dan hanya ibunyalah yang membesarkannya dengan menjadi abdi di Puri Kaleran Tabanan. Berkat pengabdiannya itu, diberilah tempat tinggal.
Dalam pengabdiannya di Puri Kaleran, tentu I Ketut Mario melakukan segala aktivitas abdi di puri termasuk belajar menari. Anak Agung Made Kaleran melihat Mario punya bakat di bidang menari. Tahun 1906 Mario belajar tari pada dua orang guru tari, yakni Pan Candri dan Salit dari Mengwi Gede. Dengan cepat tarian Sisia Calonarang dapat dikuasainya. Tariannya menawan, gerakannya berkarakter sehingga penggemar Calonarang mengaguminya. +
I Kadek Surya Kencana lahir di Dalung, Bali, 24 Januari 1986. Lulusan Universitas Pendidikan Ganesha, Bali. Pernah meraih Juara II Tingkat Nasional Lomba Penulisan Puisi Pelajar (Departemen Pendidikan Nasional, 2005) dan Juara I Lomba Penulisan Puisi se-Bali (2007). Puisi-puisinya dimuat di Bali Post dan berbagai media lain, serta terangkum dalam buku Herbarium (2007), Penari Buleleng (2008), Mengunyah Geram (2017). Kini dia bekerja sebagai wartawan di Denpasar. +
I Ketut Alon (1932 – 1993) adalah seorang pematung kelahiran Banjar Tarukan, Desa Mas, Ubud, Bali. Ia belajar memahat pada pematung Ida Bagus Nyana. Ia banyak membuat patung kayu bertema pewayangan (Mahabarata dan Ramayana) dan juga tema-tema kehidupan sehari-hari yang bersifat humanis. Karya-karyanya banyak dikoleksi oleh wisatawan mancanegara. Ia pernah diundang berpameran di Jepang pada tahun 1981, 1982, dan 1985.
Pada 1968, ia mendirikan “I Ketut Alon Balinese Art Shop & Wood Carver” yang kemudian berubah menjadi “Galeri Alon” sejak tahun 1991. Galeri tersebut berada di Jalan Raya Mas, Ubud dan dikelola oleh salah seorang putranya, I Kadek Ariasa. Di galeri itu juga terdapat Sanggar Githa Ariswara yang dirintis pada tahun 2000 dan bergerak di bidang seni tari dan tabuh yang berada di bawah Yayasan I Ketut Alon. Yayasan itu juga mendirikan Taman Pendidikan Sarin Rare yang banyak bergerak di bidang pendidikan seni untuk anak-anak. +
Bernama lengkap I Ketut Angga Wijaya. Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Warta Bali, Jembrana Post, Independent News, Riau Pos, Bali Post, Jogja Review, Serambi Indonesia, Denpost, Tribun Bali, tatkala.co, balebengong.id, qureta.com, galeribukujakarta.com, simalaba.net dan Antologi Puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (INSIST Press, 2005) serta Mengunyah Geram (Seratus Puisi Melawan Korupsi) yang diterbitkan oleh Yayasan Manikaya Kauci, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jatijagat Kampung Puisi (2017). Buku kumpulan puisinya berjudul “Catatan Pulang” diluncurkan pada Januari 2018. Bekerja sebagai wartawan di Denpasar. +
I Ketut Aryawan Kenceng lahir di Banjar Bendul, Klungkung, 22 Desember 1959. Menyelesaikan SD hingga SMA di Klungkung. Pernah kuliah di Fakultas Inggris Universitas Udayana hingga lima semester, lalu bekerja di sektor pariwisata di Denpasar. Dia menulis sastra dalam bahasa Bali dan Indonesia. Puisi-puisi bahasa Indonesianya dimuat di Bali Post, Simfoni, Swadesi. Puisi bahasa Balinya dimuat di Bali Orti Bali Post dan Pos Bali. Kumpulan puisi bahasa Balinya telah terbit dengan judul Beruk (2014), Bikul (2014), Bubu (2015), Rwa Bhineda (2015). +
I Ketut Eriadi Ariana lahir di Bangli, 1994. Saat ini tengah menyelesaikan studi pascasarjana di Prodi Magister Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Kesehariannya adalah seorang jurnalis dan penyarikan di Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur, Bangli (sejak 8 Januari 2020). Sejumlah puisi berbahasa Bali dan esainya terbit di media massa seperti Tatkala.co, Media Bali, Pos Bali, Suara Saking Bali, dan Majalah Nuansa Bali. Puisi berbahasa Bali terbit dalam antologi tunggal Ulun Danu (2019). Tulisannya juga diterbitkan dalam buku kumpulan tulisan bersama seperti Prabhajnyana: Mozaik Kajian Pustaka Lontar Universitas Udayana (2020), Jurnal Sastra Gocara Prodi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana, dan Sarasastra: Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali (2020). Sementara itu, buku esai tunggal pertamanya berjudul Ekologisme Batur (2020). Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris DPK Peradah Indonesia Badung (2016-2017), sebelum kemudian dipercaya mengemban tugas sebagai Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli (2018-2021). +
Penyair senior I Ketut Rida lahir di Banjar Kanginan, Désa Sulang, Kecamatan Dawan, Klungkung, 11 September 1939. Dia menyelesaikan sekolah di SGA Stella Duce/ Kanisius Yogyakarta tahun 1958, lalu melanjutkan B1 Bahasa Indonesia di Dénpasar, namun tidak sampai tamat.
Mulai tahun 1960 sampai 1987 diangkat menjadi guru di Sekolah Dasar. Kurang lebih 20 tahunan, I Ketut Rida menjabat sebagai Kepala SD. Selain itu, diangkat menjadi pengawas TK, SD dan SDLB. Di désa juga pernah dipercaya menjadi bendésa adat Désa Sulang
Ketut Rida mengatakan, menekuni menulis atau mengarang sudah ada sejak masih kecil, setiap hari Ketut Rida dapat cerita dari neneknya. Itu sebabnya Ketut Rida merasa senang sampai sekarang. Setelah menyelesaikan B1 Jurusan Bahasa, perhatiannya pada kegiatan mengarang semakin tumbuh. Ketut Rida sangat tekun mempelajari bahasa Kawi khususnya di Adiparwa.
Beberapa karangan sastra Bali anyar dan sastra Indonésia yang sudah dihasilkannya, antara lain cerpén, dan novel. Ketut Rida sudah dipercaya , dan juga sudah mendapatkan beberapa piagam penghargaan, seperti :
Tahun 1977–1978, Ketut Rida menjadi pemenang II Sayembara Mengarang Bahasa Indonésia guru-guru SD Tingkat Provinsi Bali. Tahun 1979 menjadi pemenang I perlombaan mengarang prosa dalam Pésta Kesenian Bali (PKB). Tahun 1980, mendapat juara I Sayembara Mengarang Novel Bahasa Bali dalam rangka Bulan Bahasa. Tahun 1982, menjadi pemenang II Mengarang Geguritan di PKB. Tahun 1991 mendapatkan Juara I Lomba Cerpén Bahasa Bali di harian Bali Post. Tahun 1995, mendapat juara harapan I Lomba Cerpén Bahasa Bali di PKB.
Mulai tahun 1970 sampai tahun 1980, banyak karangan Ketut Rida yang dimuat harian Bali Post. Kumpulan puisinya yang berjudul “Nyiksik Bulu” diterbitkan Balai Bahasa Dénpasar tahun 2004. Novel bahasa Balinya yang berjudul “Sunari” diterbitkan Yayasan Obor, Jakarta tahun 1999. Novel “Sunari” ini membuat I Ketut Rida mendapatkan Hadiah Sastera Rancagé dari Yayasan Kebudayaan Rancagé Bandung tahun 2000. Tahun 2014 Ketut Rida mendapatkan Widya Pataka dari Gubernur Bali dengan bukunya yang berjudul “Lawar Goak”.
I Ketut Sadia, beralamat di Br Pekandelan, Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali. Dia belajar melukis pada I Wayan Taweng (ayah) dan I Wayan Bendi (kakak). Dia aktif berpameran di dalam dan luar negeri, antara lain di Museum Arma, Museum Puri Lukisan, Museum Neka, Museum Nasional Jakarta, Singapure Art Museum, Tempera Art Museum, Finlandia, Fukuoka Art Museum, dan KBRI Washington DC. Pernah meraih penghargaan Jakarta Art Award 2008, Finalis Jakarta Art Award (2010, 2012), Finalis UOB Painting Of The Year (2012, 2013, 2014). +
I Ketut Sandika lahir di Desa Nyalian, Klungkung, Bali 11 Februari 1988. Ia menempuh pendidikan di IHDN Denpasar. Ia menulis buku tentang kearifan lokal dan budaya Nusantara, khususnya Bali. Ia gemar memelajari ilmu mistik Bali lewat kajian-kajian terhadap naskah-naskah kuno, terutama naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno. Hasil kajiannya itu dituangkan dalam beberapa buku, antara lain “Tantra, Ilmu Kuno Nusantara”, “Siwa Tattwa, Ajaran Spiritual Leluhur Nusantara”, “Sedulur Papat, Kalima Pancer, Ilmu Rahasia Kelahiran dan Kematian”, “Pendidikan Menurut Veda”. +
I Ketut Santosa lahir di Desa Nagasepaha, Buleleng, Bali, 21 Juli 1970. Ia adalah seniman lukis wayang kaca generasi ketiga dari keturunan Jero Dalang Diah, penemu teknik melukis media kaca di Nagasepaha. Santosa pernah bekerja menjadi tukang kebun di SMP Negeri 3 Sukasada dan mengajar ekstrakurikuler lukis kaca di sekolah itu. Pada September 2022, ia diangkat menjadi tenaga pengajar di SMK Negeri 1 Sukasada.
Lukis kaca Nagasepaha telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang tercatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Santosa sukses membawa lukis wayang kaca bertema kontemporer ke kancah internasional. Karya-karyanya banyak diminati dan dikoleksi turis asing dan pecinta seni. Ia pernah mengikuti sejumlah pameran bergengsi, seperti di Bentara Budaya Bali dan Taman Budaya Bali. Ia juga kerap diundang menjadi narasumber dalam workshop dan bincang-bincang seni.
Pada tanggal 23 November 2022, Santosa mengalami kecelakaan di daerah Baturiti, Tabanan. Saat itu ia sedang dalam perjalanan ke Denpasar untuk membawa lukisan yang hendak dipamerkan di Taman Budaya Provinsi Bali. Ia sempat menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Mangusada, Badung. Namun pada tanggal 26 November 2022 ia menghembuskan napas terakhirnya. Seorang seniman lukis wayang kaca telah pergi selama-lamanya. +
I Ketut Suasana alias Kabul, lahir di Apuan, Tabanan, 30 Desember 1978. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Karya-karya Kabul banyak mengangkat tentang kehidupan lebah/tawon. Bagi Kabul, lebah adalah metafora untuk menggambarkan kehidupan manusia. Sejak 2003, Kabul rajin terlibat dalam banyak pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Pameran tunggalnya antara lain "Suasana Lebah" di Sudana Gallery, Ubud, Bali (2009) dan "Suhu Lebah" di Maha Art Gallery, Renon, Bali (2010). Selain seni lukis, Kabul juga rajin menggelar seni pertunjukan (performance art) dan mural. +
I Ketut Sudarsana lahir di Desa Ulakan, Manggis, Karangasem, Bali pada tanggal 4 September 1982. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan I Ketut Derani (Alm.) dan Ni Ketut Merta. Menikah dengan Adi Purnama Sari dan dikaruniai empat orang anak; Saraswati Cetta Sudarsana, Kamaya Narendra Sudarsana, Ganaya Rajendra Sudarsana dan Gayatri Metta Sudarsana. Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan (1994), SMPN 1 Manggis (1997), dan SMKN 1 Sukawati (2000). Pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di STAHN Denpasar (2004), dan Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di IHDN Denpasar (2009). Tahun 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) Pendidikan Luar Sekolah di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. +
Ketut Sugantika alias Lekung lahir di Singapadu, Gianyar, Bali, 1975. Dia menamatkan pendidikan seni lukis di ISI Denpasar. Karya-karyanya banyak bercorak abstrak dengan mengambil inspirasi dari alam. Pameran tunggalnya adalah Life Lines, Tadu Contemporary Art, Bangkok, Thailand, 2016; Intimate Bali, Conrad Hotel Nusa Dua, Bali, 2014, Findings Object, Hitam Putih Art Space, Sangeh, Bali, 2010; Sign, Art Centre Denpasar, Bali, 2003. Selain itu, sejak 1998, dia rajin terlibat dalam pameran bersama, antara lain Artfordable Hongkong Art Fair, With Gundang Gambar & 37Tong Gallery, Hongkong, 2018; Imago Mundi, Bentara Budaya Bali, Yogyakarta, Jakarta, 2016. Dia juga aktif dalam kegiatan performance arts. Kini dia bergiat dalam Komunitas seni rupa Militant Arts. +
I Ketut Sumarta menulis puisi sejak remaja dengan nama pena Dommy Lavawan dan banyak dimuat di Bali Post. Dia lantas rajin berteater dan menulis esei di media massa, hingga menekuni dunia jurnalistik. Dia bergabung dengan Majalah Berita Mingguan EDITOR di Jakarta—yang akhirnya dibredel rezim Orde Baru pada 1994. Setelah pulang ke Bali sejak 1995, dia dipinang sebagai Redaktur Pelaksana harian NUSA hingga dipercaya sebagai Direktur. Sejak awal tahun 2000 bersama kawan-kawannya di Bali dia menerbitkan sekaligus memimpin majalah bulanan kebudayaan Bali, SARAD. Tulisan-tulisannya perihal budaya Bali, antara lain, pernah dimuat di Kompas, Majalah Gatra, Majalah Budaya BASIS. Buku-buku karyanya yang telah terbit, antara lain: Sosok Seniman dan Sekaa Kesenian Denpasar (1999), Batur: Jantung Peradaban Air Bali (2015), dll. +