Where did this ceremony take place:
In English
Gandrung Bungan Urip is one of the sacred dance traditions from Banjar Bangun Urip, Batukandik Village, Nusa Penida. This ritual is actually a healing ritual, which has now become a hereditary tradition for local residents. In this ritual, two male dancers aged 10-11 years are selected from the descendants of the previous dancers. A jokester or comedian is also chosen to perform this ritual. The day before this ritual is performed, both dancers and the comedian must be purified through a mawinten ceremony (see entry “Mawinten”). The two boys chosen to be the dancers for Gandrung Bungan Urip are not allowed to bathe in dirty water or other people's used toiletries throughout their life.
This sacred dance tradition originated from the folklore of Nusa Penida about the discovery of a spring pond that heals all ailments. In the past, a watermelon farmer in Nusa Penida wondered why his watermelons were spoiled. After spending the night in his field, a giant bird apparently had eaten his watermelons. The farmer then tied his body to the leg of the gigantic bird. He was taken into the middle of nowhere. There was a clear pond there. The farmer then took the water from the pond to take with him for the return trip. The next day, he again tied himself to the leg of the great bird and returned to his field.
When the farmer landed, the water in his jug accidentally spilled and hit a dead wooden branch. The branch was alive and grew leaves again. The farmer then tried to heal people by giving them the magic water. Many sick people were cured. The farmer's residence was eventually known as Banyu Urip.
News of the greatness of this magical water reached Klungkung Palace. At that time, the capital of the kingdom of Bali was in Klungkung and was ruled by a king who had the title 'dalem'. Dalem then asked for the magic water.
As a substitute for the magic water, the farmer then made a dance ritual known as Gandrung Bungan Urip. In this ritual, the two boy dancers chew betel leaf, lime, areca nut and other spices. Then, the chewed water will be rubbed on the body of a sick person by the comedian. This betel water is a substitute for Banyu Urip's magic water which was taken by the king. Until now, this tradition is believed by the Batukandik community as a sacred tradition that must be preserved because it contains the local wisdom of the community. From this tradition, people can learn how a society has developed over time and create a unique system of traditional knowledge and arts.
In Balinese
In Indonesian
Gandrung Bungan Urip adalah salah satu tradisi tarian sakral dari Banjar Bangun Urip, Desa Batukandik, Nusa Penida. Ritual ini sesungguhnya adalah ritual memohon kesembuhan, yang kini menjadi tradisi turun-temurun bagi warga setempat. Dalam ritual ini dua penari laki-laki berusia 10-11 tahun dipilih dari keturunan penari sebelumnya. Seorang banyol atau pelawak juga dipilih untuk menjalankan ritual ini. Sehari sebelum ritual ini dilakukan, baik kedua penari maupun banyol harus disucikan melalui upacara mawinten (lihat entri “Mawinten”). Kedua anak laki-laki yang dipilih menjadi penari Gandrung Bungan Urip tidak boleh mandi dengan menggunakan air kotor atau peralatan mandi bekas orang lain selama hidupnya.
Tradisi tarian sakral ini berawal dari cerita rakyat Nusa Penida tentang penemuan kolam mata air yang menyembuhkan segala penyakit. Di masa lalu, seorang petani semangka di Nusa Penida heran mengapa buah-buah semangkanya rusak. Setelah bermalam di ladangnya, ternyata buah-buah semangkanya dimakan oleh burung raksasa. Petani itu kemudian mengikatkan badannya di kaki burung besar itu. Dia dibawa terbang ke suatu tempat antah-berantah. Di sana terdapat kolam jernih. Petani itu kemudian mengambil air kolam itu untuk dibawanya sebagai bekal di perjalanan. Keesokan harinya, dia kembali mengikatkan diri di kaki burung besar itu dan sampai ke ladangnya.
Tatkala petani itu mendarat, air dalam kendi bekalnya itu tak sengaja tumpah dan mengenai ranting kayu yang sudah mati. Ranting itu hidup dan berdaun kembali. Petani itu kemudian mencoba menyembuhkan orang dengan memberinya air ajaib itu. Banyak orang sakit bisa disembuhkan. Tempat tinggal petani itu lama-kelamaan dikenal sebagai Banyu Urip.
Berita kehebatan air ajaib ini sampai ke Istana Klungkung. Pada saat itu, ibu kota kerajaan Bali berada di Klungkung dan diperintah oleh seorang raja yang bergelar ‘dalem’. Dalem kemudian meminta air ajaib itu.
Sebagai pengganti air ajaib itu, petani itu kemudian membuat sebuah ritual tarian yang dikenal sebagai Gandrung Bungan Urip. Dalam ritual ini, kedua anak laki-laki yang menari akan mengunyah daun sirih, kapur sirih, pinang dan rempah-rempah lain. Kemudian, air kunyahan itu akan dioleskan di tubuh orang yang sakit oleh banyol (pelawak). Air sirih ini adalah pengganti air ajaib Banyu Urip yang telah diambil oleh raja. Hingga kini, tradisi ini dipercaya oleh masyarakat Batukandik sebagai tradisi sakral yang harus dilestarikan karena memuat kearifan lokal masyarakat. Dari tradisi ini, orang dapat belajar bagaimana suatu masyarakat telah berkembang dari masa ke masa dan membuat suatu sistem pengetahuan tradisional dan kesenian yang unik.
Wayan Sudirman
https://www.youtube.com/channel/UCTWo2RvlY7IxPOrKSa3-2Yg
Enable comment auto-refresher