Property:Biography text id

From BASAbaliWiki
Showing 20 pages using this property.
I
I Gusti Ayu Putu Mahindu Déwi Purbarini, SS, lahir di Tabanan, 28 Oktober 1977. Mengenyam kuliah Sastra Indonésia di Fakultas Sastra Universitas Udayana Dénpasar sampai tamat dan mendapatkan gelar sarjana sastra (SS) Indonésia, 8 Méi 2004. Puisi-puisinya dimuat di Tabloid Wiyata Mandala, Bali Post, Majalah Buratwangi, Canang Sari. Ia pernah menjadi sampul majalah gumi Bali “Sarad” (édisi no.19, Juli 2001). Serta dimuat di buku “Bali Tikam Bali” karangan Gdé Aryanatha Soéthama di halaman 86 yang berjudul ‘Cuntaka’ Luwes Saja (hal.87). Kini menjadi dosén Sastra Indonésia di IKIP PGRI Dénpasar dan FKIP Mahasaraswati Dénpasar. Juga ikut jaga menjadi pengasuh majalah sastra remaja “Akasa”, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Bali di Tabanan. “Apang ja Bisa Masekolah”, cerpénnya menjadi juara harapan I perlombaan Menulis Satua Bali seluruh Bali (1994). “Lombok Yang Bali”, cerita pendek tentang tamasya, perlombaan di Bali Post, menjadi juara II (1995). “Dara Dalam Botol Perahu”, juara harapan I perlombaan menulis puisi se-Bali dalam ‘Pekan Orientasi Kelautan’ Dénpasar (1999). Puisinya “Bulan di Kamar Transparan” masuk dalam “Antologi Puisi Getar II”, Kota Batu, Malang (1996). Selain itu, kumpulan puisinya yang mengangkat judul “Bulan di Kamar Transparan” diterbitkan oleh Pusat Balai Bahasa Dénpasar (2006). Dilanjutkan dengan kumpulan Puisi Bali modern berjudul “Taji”, yang diminati oleh majalah sastra Bali modern “Buratwangi” Menulis sastra Indonésia berupa puisi dan cerpén sejak di majalah Era SMP Negeri 2 Tabanan (1989-1991). Ketua Rédaksi majalah Widya, SMA Negeri 2 Tabanan (1994-1995). Menjadi staf rédaksi majalah Kanaka, Fakultas Sastra dan tabloid UKM Akademika Universitas Udayana Dénpasar (1996-1997). Mengikuti diklat Jurnalistik ring Dénpasar, Yogyakarta dan Malang (1995, 1996, 1997). Selain itu pernah bersama Sanggar Purbacaraka. Paling menyenangkan saat masa TK dan SD (1982-1988) sering menari di TVRI Dénpasar dalam acara “Aneka Ria Safari Anak-anak Nusantara.”  
I Gusti Ayu Raka Rasmi adalah seorang penari Bali kelahiran Peliatan, Ubud, Gianyar, 10 Maret 1939. Raka Rasmi adalah orang yang pertama menarikan tari Oleg Tamulilingan yang diciptakan oleh I Ketut Maria, koreografer dari Tabanan, Bali, atas permintaan John Coast. Raka Rasmi memperkenalkan tari romantis tersebut ke mancanegara lewat lawatan seninya yang pertama kali ke Paris, Eropa, dan Amerika Serikat pada 1953. Raka Rasmi telah menari sejak usia dua belas tahun dengan bergabung dalam Sekaha Gong Peliatan, Ubud. John Coast menobatkan Raka Rasmi sebagai penari bintang, berkat penampilannya yang memukau saat menari. Raka Rasmi telah menari di berbagai belahan dunia, seperti China (1959), Pakistan (1964), Jepang (1964), Australia (1971), Eropa (1971), AS (1982), dan Singapura (1996). Raka Rasmi mendedikasikan hidupnya untuk seni tari, terutama tari Oleg Tamulilingan yang tersohor itu. Dia memiliki banyak murid dari dalam dan luar negeri. Raka Rasmi meninggal dunia pada tanggal 17 Maret 2018.  +
Universitas Dhyana Pura Dosen di Universitas Dhyana Pura Br. Tegaljaya, Dalung, Kuta Utara Badung, Bali Denpasar, Bali 80351 Indonesia http://www.undhirabali.ac.id  +
I Gusti Bagus Sugriwa lahir di Bungkulan, Buleleng, Bali, 4 Maret 1900. Ia adalah sosok yang memperjuangkan Agama Hindu di Bali diakui Pemerintah Republik Indonesia. Ia menjadi tokoh panutan dan Bapak Peradaban Hindu. Berkat perjuangannya, Agama Hindu di Bali secara resmi diakui pemerintah pada tanggal 5 September 1958 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI. Ia juga memiliki kepedulian pada kemajuan pendidikan. Ia pernah mengajar di Sekolah Rakyat di Bungkulan, lalu mengajar di Sekolah Rakyat di Jinengdalem, Buleleng, 1921. Ia pernah menjadi Kepala Sekolah Vervogcshool di Kubutambahan tahun 1935. Ia juga pernah mengajar bahasa Jepang di sejumlah sekolah. Pada tahun 1946 ia menjadi anggota Dewan Perjuangan Republik Indonesia. Kepeduliannya terhadap kemerdekaan Indonesia membuat ia ditangkap Belanda tahun 1948. Pada tahun 1950, ia dipilih menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah Bali. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Majalah Damai yang diterbitkan oleh Yayasan Kebhaktian Pejuang di Denpasar. Tahun 1957, ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Nasional yang dibentuk sebagai lembaga penasihat kabinet presiden dan anggota DPA perwakilan Hindu Bali. Tahun 1970, ia mengajar di lembaga Pendidikan Dwijendra, Perguruan Rakyat Saraswati, Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri (PGAHN) yang kemudian menjadi IHDN Denpasar. Selain menjadi tenaga pengajar, ia juga menulis sejumlah buku berkaitan dengan Agama Hindu, seperti Sutasoma, Dwijendra Tatwa, Pelajaran Agama Hindu Bali, Ilmu Pedalangan/Pewayangan. Ia meninggal pada tahun 1973. Untuk mengenang jasa-jasa besarnya, namanya diabadikan menjadi nama kampus Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar (dulu IHDN Denpasar). Sosoknya juga diabadikan menjadi patung yang kini berdiri di depan kampus tersebut.  +
Direktur kreatif dan aktivis Dibal Ranuh adalah seniman visual multidisiplin yang karyanya secara konsisten dan kuat memperjuangkan suara Nusantara. Dalam bentuknya yang paling murni, karya seninya mencerminkan idealisme kreatif yang menunjukkan kekuatan transformatif seni. Gusti Dibal Ranuh dari Singaraja Bali, lulusan desain grafis Trisakti Jakarta. Pendiri Yayasan Matahati Kitapoleng dalam bidang ruang kreatif penciptaan seni rupa kontemporer yang konsen dalam mengembangkan bakat-bakat penyandang disabilitas di bidang seni, khususnya penyandang tuna rungu dan difabel. Sebagai Artistic Director dan Film Director, Dibal menciptakan karya seni pertunjukan dan film yang mengacu pada akar budaya tradisi nusantara. Pada tahun 2018, Dibal meluncurkan buku Perjalanan Dang Hyang Nirartha di Borobudur Writers & Cultural Festival. Pada tahun 2020, Dibal Ranuh dianugerahi penghargaan Sinematografi Terbaik dalam kompetisi film D(E) Motion Festival Indonesia. Dan lewat film Lukat, Dibal berhasil meraih juara pertama EURASIA Project International di Italia. Pada tahun 2021, film Wong Gamang; Perjalanan Dewi Melanting yang disutradarai Dibal berhasil meraih banyak penghargaan, antara lain Sutradara Film Fiksi Terbaik, Film Artistik Terbaik, dan Penyuntingan Terbaik. Pada tahun 2022, BWCF, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan UNESCO mempercayakan penyutradaraan film tari Mahendraparvata yang bekerja sama dengan kebudayaan Kamboja dan Indonesia. Percakapan dengan Dibal Ranuh Arahan kreatif puitis Dibal Ranuh dalam film dan pertunjukan panggung bermula dari kecintaannya pada perjalanan dan fotografi. Mempelajari desain visual, kecintaannya pada perjalanan dan eksplorasi bersama dengan kameranyalah yang membuka jalan pembingkaian visual dan kecenderungan alami terhadap pengisahan cerita visual. Kecintaan seniman terhadap warisan suku kami yang kaya memicu tekstur artistik yang memperkaya gaya visualnya. Semangat untuk Warisan Nusantara “Saya suka bepergian ke hutan. Saya suka pergi ke suku-suku seperti Badui, Dayak, dan Toraja dan tinggal selama berbulan-bulan di komunitas tersebut. Bisa dibilang di sanalah saya menemukan kehidupan baru. Saya menemukan sesuatu yang sangat unik di antara suku-suku tersebut. Dari sana, saya kembali ke universitas. Sebagai seorang desainer, saya mendapat banyak ide selama saya berada di komunitas suku. Ketertarikan saya terhadap keberagaman suku kami dimulai sejak saat itu. Indonesia sangat dinamis, banyak suku yang bisa menginspirasi kita dalam berkreasi.”  
I Gusti Gde Raka adalah seorang politikus Indonesia asal Bali. Pada masa Jepang, ia bekerja pada bagian Kemakmuran dan kemudian pada Perbendaharaan. Pada bulan September 1945, ia diangkat sebagai Kepala Perbendaharaan Provinsi Sunda Kecil Pemerintah Republik Indonesia. Dari Maret 1946 sampai Juli 1949, ia ditawan oleh tentara Belanda. Pada bulan Juli 1949, ia dilepaskan, berangkat ke Yogyakarta dan bekerja sebagai ahli Kepala Keuangan pada Kementerian Keuangan RI. Dari November 1949 sampai Februari 1950, ia diangkat sebagai Inspektur Kepala Keuangan dan anggota Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan wakil Golongan Sunda Kecil.  +
I Gusti Gedé Djelantik Santha salah satu penulis sénior yang membela sastra Bali Modéren. Ia lahir di Désa Selat Karangasem, pada 12 Agustus 1941. Menulis sastra sudah disenanginya saat masih bersekolah di Sekolah Rakyat (1949). Djelantik Santha menulis bermacam-macam puisi, cerita pendek, dan novél, dan sudah mengeluarkan beberapa buku, berupa novél dan kumpulan cerita pendek. Tahun 1979 cerpennya yang berjudul “Gamia Gamana” mendapat juara II mengarang cerpen saat Pésta Kesenian Bali. Tahun 2001 ia mendapatkan penghargaan “CAKEPAN” dari Majalah Sarad karena dédikasinya di sastra Bali modérn. Tahun 2002 iia mendapatkan hadiah Sastra Rancagé dengan novél yang berjudul “Sembalun Rinjani.” Tahun 2003 ia juga mendapat juara harapan II lomba penulisan novel yang diselenggarakan Bali Post dengan novel yang berjudul “Di Bawah Letusan Gunung Agung”. Buku- buku yang sudah diterbitkan adalah: Tresnané Lebur Ajur Setondén Kembang (Novél, 1981), Sembalun Rinjani (Novél, 2000), Gitaning Nusa Alit (Novél, 2002), Di Bawah Letusan Gunung Agung (Novél berbahasa Indonesia, 2003), Suryak Suwung Mangmung (Novél, 2005), Benang-Benang Samben (Novél, 2014), Vonis Belahan Jiwa (Novél berbahasa Indonésia, 2015), Kacunduk ring Besakih (kumpulan cerita pendek, 2015). Berikut ini salah satu karangannya, berupa cerita pendek yang berjudul “Majogjag.”  +
I Gusti Ketut Jelantik lahir di Tukadmungga, Buleleng, 1800. Ia berasal dari Karangasem, Bali. Ia menjadi patih di Kerajaan Buleleng. Ia memimpin laskar Buleleng melawan penjajahan Belanda dalam Perang Bali I, Perang Jagaraga, Perang Bali III, yang terjadi pada tahun 1846 – 1849. Peperangan bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan Hak Tawan Karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya. I Gusti Ketut Jelantik gugur dalam Perang Bali III. Ia gugur di Perbukitan Bale Pundak, Kintamani, Bali, tahun 1849. Atas jasa-jasanya melawan penjajah Belanda, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 14 September 1993.  +
I Gusti Ketut Pudja (19 Mei 1908 – 4 Mei 1977) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Bali. Ia ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sunda Kecil (saat ini Bali dan Nusa Tenggara). Ia juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia kemudian diangkat Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil pada tanggal 22 Agustus 1945. Pudja dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1908 di Singaraja, Bali. Pada tahun 1934, ia lulus dari perkuliahannya di Rechtshoogeschool di Batavia (Jakarta). Pada tahun 1935, ia mulai bekerja di Kantor Residen Bali dan Lombok. Setahun kemudian, ia ditempatkan di Raad Van Kerta, yang pada masa itu merupakan kantor pengadilan yang ada di Bali. Ia ikut berjuang mengusir penjajah Jepang. Ia memerintahkan para pemuda untuk melucuti senjata Jepang yang pada saat itu sebagian masih berada di Bali. Ia sempat ditangkap tentara Jepang di akhir 1945. Pudja meninggal pada tanggal 4 Mei 1977 di Jakarta. Atas jasanya, Presiden Soeharto menganugerahkan Pudja penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Pada tahun 2011, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Pudja sebagai pahlawan nasional. Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan Pudja di uang logam pecahan seribu rupiah.  +
I Gusti Komang Sugiartha, Beliau yang lahir di Desa Subamia Tabanan, Bali pada tanggal 24 April 1949. Adapun riwayat pendidikan Beliau yaitu, Tahun 1962 Beliau tamat SD Subamia, tahun 1965 Beliau tamat SMP Negeri 1 di Mataram, tahun 1969 Beliau tamat Sekolah Pertanian (SPMA) Negeri Mataram. Tahun 1970 Beliau bekerja di Dinas Pertanian Provinsi Bali, bagian Tanaman industri yang resmi memisahkan diri menjadi Dinas Perkebunan Provinsi Bali tahun 1973. Sejak Sekolah Dasar Beliau telah belajar seni (Sekar Alit, Seni Tabuh, dan Seni Tari) dari Ayah Beliau Gst.Kd. Dibya dan pernah merasakan sentuhan tangan I Ketut Maryo, seniman legendaris di Tabanan. Beliau sering menjadi juara nembang Sekar Alit di tingkat SD. Sampai saat ini Beliau masih aktif mengikuti kegiatan pesantian di Pemda Bali, di Sanggar Seni Getar Basutalina Bali Kecamatan Kuta Utara, menjadi pembina Santi di Desa Subamia, dan Santi Ambara Santha Budhi Kabupaten Tabanan. Beliau telah menyelesaikan beberapa Geguritan dengan judul Lubdhaka, Bima Dados Caru, Angling Darma, Kedis Cacetrung, Pan Balang Tamak, Pandawa Swarga, Ulam Agung (Matsya Awatara), Waraha Awatara, Dharma Udyoga, Dwarawati Pralaya, Senapati Abimanyu, Dyah Sri Tanjung, Babad Pande, Menteri Jajar Pikat dan Aji Pelayon.  +
I Gusti Made Deblog lahir di Banjar Taensiat, Denpasar, 1906. Ia meninggal pada tahun 1986. Ia adalah seorang pelukis dan bergabung dengan Kelompok Pita Maha dan Kelompok Pelukis Citra. Ia belajar melukis pada pelukis dan fotografer Tiongkok, Yap Sin Tin, yang datang ke Bali pada tahun 1930-an. Kebanyakan lukisan Deblog hitam-putih dengan nuansa magis dan mistis. Lukisan-lukisannya sangat khas dan orisinal. Tematik karya-karyanya adalah adegan-adegan dalam kisah Mahabarata dan Ramayana. Atas dedikasinya dalam seni lukis, ia menerima penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali.  +
I Gusti Made Raka Ngetis lahir di Denpasar, 17 Juli 1917. Ia adalah seorang pengukir topeng yang terkenal pada zamannya. Ia menekuni seni topeng sejak remaja. Jenis topeng yang dibuatnya adalah topeng bebondresan dengan ekspresi yang lucu. Selain membuat topeng, ia ahli membuat wadah atau bade (menara jenazah) dan patung serta pratima sakral untuk pura. Bakat seni Ngetis telah tumbuh sejak kanak, namun orang tuanya melarangnya menekuni seni, sebab takut anaknya akan menjadi miskin secara meteri. Akan tetapi Ngetis tetap ngotot berkesenian. Ia belajar membuat topeng pada kakak sepupunya, I Gusti Ketut Kandel dan Anak Agung Rai dari Jro Gerenceng, Denpasar. Waktu telah membuktikan ia tumbuh dan besar menjadi sosok seniman yang disegani pada zamannya. Ngetis meninggal pada 1981 dengan mewariskan banyak karya seni.  +
Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Komputer dan Informatika STIKOM Bali  +
I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, lahir di Denpasar, 1936. Ia adalah pelukis dan pendiri Museum Seni Lukis Sidik Jari di Denpasar. Ia menimba ilmu seni lukis pada Made Kaya, jebolan ASRI Yogyakarta. Ia mengagumi pelukis Affandi. Dari teknik Affandi, ia membuat percobaan melukis dengan berbagai alat dan media, termasuk memakai tangan dan sekali-kali menyodokkan jari-jcmarinya. Dari sinilah muncul teknik melukis dengan jari. Pada tahun 1969 majalah Horizon yang terbit di Filipina memuat khusus ulasan lukisannya. Tak pelak lagi ini membuat kaget scorang Staf USIS di Surabaya, dan staf ini lalu mendatangi Gusti Ngurah Gede Pamecutan. Staf ini lalu menetapkan bahwa lukisan dost painting ditemukan tahun 1970, dan tokoh satu-satunya adalah I Gusti Ngurah Gede Pamecutan. Dcngan gaya "sidik jari" nama Pamecutan mcnjadi lebih terkenal di luar negeri ketimbang di dalam ncgeri sendiri. Dengan dikelolanya Puri Pamecutan sebagai hotel, maka banyak lukisannya diboyong ke luar ncgeri Scdangkan di dalam negeri ia jarang pameran. Selain pelukis, I Gusti Ngurah Gede Pamecutan juga adalah seorang organisatoris dan kurator seni handal. Tahun 1964-1983 ia menghimpun pelukis, pemahat, penabuh dan penari dalam bentuk Sanggar Kesenian Puri Pamecutan dengan kegiatan pameran tetap dan pementasan tari-tarian untuk pariwisata. Ia juga pernah menjadi illustrator untuk koran Bintang Timur yang terbit di Malang. Tahun 1972 ia menjadi kurator dan penata pameran senirupa di Taman Budaya Denpasar. Selanjutnya ia bekerja di Kanwil Perindustnan Provinsi Bali untuk membina pengembangan industri kecil, dan sebagai desainer seni kerajinan, tahun 1981-1987. Sejak tahun 1986 - 1997 ia menjadi anggota Badan Pcrtimbangan dan Pcmbinaan Kebudayaan Propinsi Bali (Listibya). Tahun 1994 ia mendirikan museum pribadi dengan nama “Museum Lukisan Sidik Jari Ngurah Gede Pamccutan” untuk menyimpan dan merawat karya-karyanya. Museum ini juga membuka kursus seni tari dan lukis. Sebagai seniman, ia dianugerahi sejumlah penghargaan, di antaranya Kerti Budaya dari Pemerintah Daerah Tingkat II Badung tahun 1980. Tahun 1984 ia mcmproleh Piagam Dharma Kusuma Madia dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, dan Piagam Werdi Budaya dari Kepala Taman Budaya Denpasar, tahun 1987  
I Gusti Ngurah Made Agung (5 April 1876 – 22 September 1906) adalah Raja Badung VII dan seorang pejuang yang menentang pemerintahan Hindia Belanda di Bali yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 5 November 2015. Dia menentang penjajahan Belanda melalui karya sastranya, seperti Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Kakawin Atlas, dan Geguritan Hredaya Sastra  +
I Gusti Ngurah Parsua, lahir di Bondalem, Buleleng, Singaraja., 22 Desember 1946. Dia menulis puisi, cerpen, novel, esai, dll. Karya-karyanya pernah dimuat di Bali Post, Karya Bakthi, Nusa Tenggara, Bali Cuier, Merdeka, Berita Buana, Beritha Yudha, Suara Karya, Sinar Harapan, Simponi, Swadesi, Eksperimen, Srikandi, Suara Pembangunan, Mutu, Arena, Bukit Barisan Minggu Pagi, Prioritas, Suara Pembaharuan, El Horas. Majalah Umum dan Budaya: Ekspresi, Basis, Horison, Topik, Tifa Sastra, Dewan Budaya maupun Dewan Sastra, Malaysia. Kumpulan puisinya: “Matahari” (1970), “Setelah Angin Berembus” (1973), “Sajak-sajak Dukana” (1982), “Sepuluh Penyair Indonesia Malaysia” (1983), Duka Air Mata Bangsa” (1998), “Bahana Di Margarana”, (2005), dll. Di bidang prosa antara lain: “ Hakikat Manusia dan Kehidupan” (Esai Seni Budaya, 1999), “Sekeras Baja” (Kumpulan cerpen, 1984), “Sembilu Dalam Taman” (Novel, 1986), “Rumah Penghabisan” (kumpulan cerpen, 1995), “Perempuan Di Pelabuhan Sunyi” (Kumpulan cerpen 2001), “Senja Di Taman Kota” (Kumpulan cerpen, 2004), dll. Puisinya berjudul “Khabar” diterjemahkan oleh Kemala (penyair dan peneliti Sastra asal Malaysia) kemudian dimuat pada majalah Asia Week (1983). Puisinya berjudul “Kepada Bali” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Vern Cork dam terbit bersama penyair Bali lainnya dengan judul “The Morning After” (2000).  +
I Gusti Ngurah Putu Buda adalah seorang perupa kelahiran Sangeh, Badung, Bali. Dia menamatkan pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Sejak 2002 dia aktif dalam banyak pameran bersama, di dalam maupun luar negeri, antara lain TANDA HATI at Tony Raka Gallery Mas Ubud (2012), Ten Years After at Sinsin Fine Art Anex Villa Hongkong (2013), Ulu Teben art Bentara Budaya Bali (2015). Pameran tunggalnya, antara lain Time is like to Bomb at kiridesa the Gallery Singapore (2006), Black and White world Copsa Gallery London (2006), Mystical Spirit II at Kiridesa The Gallery & Oorja zone, Dubai (2007), Seizing A Space at 6 Point Café-Shops-Offices, Sanur Bali (2013). Tahun 2004 dia meraih Top Finalist in 2004 :Sovereign Annual Contemporary Asian art Prize Hongkong. Kini, dia aktif dalam Komunitas Militans Arts.  +
I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang lebih dikenal dengan Putu Wijaya merupakan budayawan sastra Indonesia asal Bali, yang telah menghasilkan kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Putu Wijaya juga menulis skenario film dan sinetron. Putu sendiri sebenarnya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Budayawan yang khas dengan topi pet putihnya ini semula diharapkan bisa menjadi dokter oleh ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Namun Putu ternyata lebih akrab dengan dunia sastra, bahasa, dan ilmu bumi. Cerpen pertama Putu yang berjudul "Etsa" dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Drama pertama yang Putu mainkan adalah ketika ia masih SMA. Drama tersebut Putu sutradarai dan mainkan sendiri dengan kelompok yang didirikannya di Yogyakarta. Setelah 7 tahun di Yogyakarta, ia kemudian pindah ke Jakarta dan bergabung dengan Teater Kecil. Selanjutnya dengan Teater Mandiri yang didirikan pada tahun 1971, dengan konsep "Bertolak dari Yang Ada". Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung menggunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya yang penuh dengan potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, dan bahasanya ekspresif. Putu lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat. Penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total dalam menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Bersama teater itu, Putu telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Bahkan puluhan penghargaan diraih atas karya sastra tersebut.  +
Widyatmaja adalah dosen di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana dan menyandang gelar doktor di bidang kepariwisataan yang diperolehnya dari Program Studi Doktor Pariwisata, Universtas Udayana dengan disertasi berjudul ‘Model Tata Kelola Tenaga Kerja Disabilitas pada Industri Perhotelan di Bali.’  +
I Gusti Ngurah Windia, lahir di Carangsari, Badung Utara, Bali, 31 Desember 1946. Ia adalah maestro topeng Tugek Carangsari. Ia mementaskan seni topeng di berbagai pelosok Bali hingga luar negeri, seperti Jerman, Amerika, Venesia, Roma. Ia mulai menekuni seni tari topeng tahun 1966. Pada tahun 1969 ia terkenal di seluruh Bali. Tahun 1970-an dan 1980an, ia adalah seniman topeng paling laris di Bali dan pertunjukan topengnya direkam dalam kaset. Kehebatan Ngurah Windia terletak pada kemampuannya menari topeng, matembang, dan membawakan narasi seni pertunjukan topeng. Ia memadukan humor, komedi, parodi, nasihat, petuah, kisah pada setiap pementasan tari topengnya. Dalam pertunjukan Topeng Tugek Carangsari, ia menciptakan tiga tokoh kaum jelata yang kemudian sangat terkenal, yakni Si Gigi Sumbing, Si Tuli, dan Si Tugek (tokoh cewek yang kocak). Ketiga karakter tokoh ini kemudian menjadi trend dalam pertunjukan topeng di Bali. Ia mementaskan pertunjukan topeng untuk terakhir kalinya pada tanggal 3 Desember 2021. Kemudian ia jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Mangusada, Kapal, Badung. Dan, pada tanggal 13 Desember 2021, ia meninggal pada usia 75 tahun.  +